cerpen !

Kartu Pos Eropamu

‘Sudah seminggu Jose tak kirimkan postcard.’ Kalimat itu terus terngiang di kepala Epphine. Ia pun berusaha menghibur dirinya. ‘Mungkin dengan membaca beberapa postcardnya, hatiku akan sedikit lebih girang.’ Ia pun membuka lacinya, mengambil beberapa postcard dari Jose.

“ Portugal! Akhirnya aku sampai Epphine, di tanah yang ingin kucapai, EROPA! Aku ingat tangisanmu saat kepergianku di bandara, tangisanmu itu sekarang pun kurindukan, tapi jangan kuatir sayang, aku pasti akan pulang dengan selamat. Kasihku, ternyata namaku sama dengan perdana menteri di sini. Orang – orang di sini sering memplesetkan namaku menjadi nama perdana menteri mereka, Jose Socrates. Dan Lisbon, kota ini, namanya mengingatkan kita pada bonbon bukan? Di Lisbon ini kujumpai banyak sekali orang, kaya dan miskin, putih dan hitam. Tapi itu tak penting kasih, Lisbon, bukan main indahnya. Kastil – kastil peninggalannya! Sungguh berbeda dari keraton – keraton di Jawa. Ketika kubaca buku travel guideku, pada bagian Lisbon, dianjurkan olehnya untuk mengunjungi Castle of Sao Jorge. Bukan main indahnya! Begitu kupandangi Lisbon, langsung kupandangi kastil tersebut. Indah dan tinggi membelah angkasa, menampilkan sosok kekuatannya. Tak terbayangkan olehku, betapa banyak orang yang berjuang membuatnya. Di akhir hari pertamaku ini, kukunjungi pula Katedral Lisbon, Santa Maria Maior de Lisboa, untuk mengucapkan syukurku telah berhasil sampai ke Eropa. Kutemukan damai, damai yang berbeda dengan Jakarta, mungkin sebagai akibat dari rasa ketidaktenanganku di negeri orang. Untunglah kuberangkat pada bulan Mei, udaranya sunguh sejuk! Tak terasa panas teriknya matahari seperti yang terjadi di Jakarta. Saat ini, aku sedang menginap dalam losmen murah. Dengan situasi keuanganku yang terbatas dan modal nekat ini, hanya losmen yang dapat kutumpangi. Besok, aku akan pergi ke dermaga, kudengar di sana ada banyak burung – burung indah membelah angkasa. Sungguh hebat memang yang Kuasa. Ah ya Epphine, tunggu aku dalam suratku yang berikut. Akan kuceritakan Eropa ini jauh lebih dalam lagi hanya untukmu. Salam rindu, Jose.“

Rasa rindu Epphine pun semakin tak tertahankan. Mengingatkan dirinya pada kasihnya, yang berani, yang mungkin terlalu berani, untuk berangkat ke Eropa tanpa memikirkan biaya yang besar. Ia ingat betapa sang kasihnya kali itu terpesona pada buku – buku travel, kala mereka berdua pergi ke Toko Buku Aksara. Tanpa ia sadari, diambil olehnya postcard dari Jose yang kedua.
“ Kusampaikan hai lagi kasihku! Apa kau rindu padaku? Aku menuliskan ini, di tengah sibuk dan hiruk pikuknya Madrid, kota yang indah, sama seperti Lisbon. Sekali lagi aku menginap di losmen, agar biaya murah. Dan kartu pos ini, tak sengaja kutemukan dalam perjalananku ke istana El Escorial. Semoga dengan kartu pos ini, kau juga bisa melihat El Escorial, sama seperti mataku, yang terkagum – kagum dengan El Escorial. Sungguh berbeda sistem pemerintahan di sini dengan di Indonesia. Di sini, ternyata mereka menggunakan monarki. Tak dapat kubayangkan jika negeri kita juga menggunakan monarki, orang – orang tunduk menyembah pada sang raja. Ahh, sungguh tak menyenangkan. Ah ya, aku jarang pergi selain ke kota besar, kasih, problem bahasa sangat menyulitkan aku. Mereka, selain di kota besar, tidak pandai berbahasa Inggris, dan modalku hanyalah Bahasa Inggris semata. Tak lama bisa kutulis surat ini, aku terburu – buru mengejar kereta! Rinduku padamu, kasihku!”

Dan dibaliklah oleh Epphine kartu pos dari Jose,menampilkan istana yang membelah tinggi di angkasa, menampilkan kekuasaan monarki dan sang rajanya di Spanyol. Rindunya pun semkain memuncak, memaksa dirinya untuk terus membaca postcard dari sang pujaan hatinya itu.

“ Hari ini sungguh sangat menarik. Hatiku berdebar – debar menatap Perancis. Dalam hatiku, terbayang cita – cita mereka dahulu kala, Revolusi Perancis. Tapi Perancis memang menakjubkan! Arsitekturnya, musiknya, pelukisnya, fashion dan lain – lain! Paris, memang benar – benar kota fashion, tak terbayangkan oleh diriku dirimu memakai baju memukau seperti para Parisian tersebut. Namun tetap, engkau adalah wanita tercantik dalam hidupku. Ah ya, Eiffel, tinggi menjulang membelah angkasa, sama seperti istana – istana di Spanyol, ia begitu memukau! Tapi Eiffel menawarkan sesuatu yang berbeda, seperti kebebasan, yang kita idam – idamkan sejak dulu. Impianku untuk mengarungi Eiffel pun berhasil, aku dapat sampai di titik tertinggi Eiffel, melihat panorama indah dalam hidupku. Dan di Eiffel lah kutemukan postcard ini, yang pasti membuatmu semakin merindukanku. Seandainya waktuku tidak hanya sebulan, aku akan berlama – lama di Eiffel. Ingat janjiku, aku akan kembali pada hari ulangtahunmu! Oh ya, makanan di Perancis memang sedikit aneh. Mereka menawarkan siput sebagai menu utama, untunglah aku bisa memakannya sedikit. Tak dapat kubayangkan diriku sakit di negeri orang, benar – benar merepotkan diri sendiri jika diriku sampai terserang maag di sini. Tapi memang perutku ini perlu menyesuaikan diri. Tak dapat dalam sehari pun di Eropa ini, aku tak memakan nasi. Entah apa yang terjadi jika aku tak memakan nasi. Aku juga sempat pergi ke Istana Versailles, sungguh indah dan menawan! Membuatku membayangkan jaman – jaman monarki dulu di Perancis, aku menerawang memikirkan Louis I hingga Louis XVI. Namun pikiranku berhenti di Louis XVI, tak dapat kubayangkan guillotine memutuskan kepalanya, terlalu sadis untukku. Ah ya, air mancurnya, sungguh sangat indah menawan, tak ada tandingannya di negeri kita ini dan ruangan kacanya itu lho, mengingatkanku pada pelajaran sejarah kita dulu waktu SMA. Di Perancis, aku meluangkan begitu banyak waktu untuk melihat dua katedral tersohor. Katedral Chartres, yang entah mengapa mengingatkanku pada Katedral kita di Jakarta, secara tak langsung membuat diriku ingin dipelukmu, kasih. Ah ya, dan seperti yang sering kita baca di buku – buku cerita, Katedral Notre-Dame. Sejak dulu memang katedral ini digunakan untuk menobatkan para raja, begitu yang kubaca di buku panduan travelku, dan memang setelah kulihat sendiri dengan mataku, Katedral ini pantas, malah sangat pantas, untuk menjadi tempat yang sangat membahagiakan itu. Mungkin, jika hubungan kita sudah semakin serius, tak ada salahnya kita menabung untuk sekedar menikah di sini. Pasti, hubungan kita akan sangat indah, seperti katedral ini. Oh iya, aku sempat mendoakan engkau, keluargaku, keluargamu, dan kolega – kolegaku. Kurasa dalam doaku yang sunyi di katedral ini, permohonanku akan terkabul, cinta. Andai saja kau ikut bersamaku dalam perjalanan Eropa ini, sayang sekali dirimu tak berani ikut denganku. Lain kali, ketika kita sudah menikah, kita akan keliling Eropa bersama, ok? Dalam kerinduan yang mendalam, Jose.”

Epphine pun sudah tak kuasa menahan rindunya, segera dia ke kamar mandi, dan membilas mukanya hingga terlihat segar lagi. Dia merasa malu jika dirinya diketahui oleh orang tuanya menangis karena rindunya akan sang pujaan hati.

Tak lama kemudian, terdengar bunyi ketukan di pintu rumahnya. Segera, dia membasuh mukanya dengan handuk yang diletakkan di sekitar kamar mandi, lalu mengambil kunci dan membuka pintunya. Ternyata, itu adalah kurir pos. “Anda bernama Epphine?”, tanyanya. “Ya, ini saya sendiri. Ada apa pak?” “Ini ada paket untuk Anda, sepertinya dari orang yang sangat mengasihi Anda.” “Oh,bapak bisa saja. Terima kasih, Pak!”, jawabnya mengakhiri pembicaraan. Pak pos pun kemudian menaiki sepedanya, dan membunyikan belnya, lalu seketika hilang dari pandangan.

Epphine dengan tak sabar, segera membuka paket yang baru saja diterimanya. Ternyata, paket itu dari Jose! Dibukanya dengan hati – hati paket kiriman pujangga hatinya tersebut, tertulis di depannya,’ Dari Inggris, dengan penuh cinta, Jose.’ Hatinya memerah seperti senja di Kalimana, begitu dia mengetahui paket tersebut dari Jose.

Tiga hari kemudian, kurir pos pun datang lagi. Kali ini, dia mengantarkan kartu pos. Sekali lagi, kiriman ini pun berasal dari Jose. Epphine pun tak sabar lagi, segera ia mengucapkan terima kasih kepada pak pos, dan pergi melesat ke dalam kamarnya. Dibaca olehnya surat tersebut pelan – pelan.

“ Dear Epphine, paketku sudah kau terima kan? Aku tau, itu pasti merupakan suatu gaun yang indah. Uang itu sudah lama kukumpulkan untuk membelikanmu salah satu dari begitu banyak gaun yang kulihat memenuhi deretan Perancis. Ah ya, itu berasal dari Perancis lho, bukan Inggris. Aku baru sempat mengirimimu setelah aku pergi ke Inggris melalui Channel Tunnel. Untukmu seorang, aku sempat bekerja sambilan, di restoran seorang asli Indonesia. Tapi untukmu seorang, apalah artinya sedih dan susah? Namun, kuakui juga, ternyata kehidupan di sana juga penuh dengan orang yang tak berkecukupan. Bukan hanya di Jakarta, kasih, Paris pun juga! Terlebih anak – anak tersebut, ternyata mereka digunakan oleh para mafia untuk mencari uang. Mereka diajarkan untuk mengamen, mencuri. Semua itu kulihat secara tak langsung di Champs-Élysées. Banyak sekali anak – anak kecil yang ternyata anggota sindikat. Aku menyadari betapa senangnya hidup kita. Setelah hari – hari yang membuka mataku itu, aku pun tiba di Inggris. Inggris dengan gedung parlemennya, dengan kesibukannya, dengan aksen Britishnya, adalah negara yang indah untukku. Memang tak seperti Perancis, kota seni, Inggris lebih kaku, namun juga indah. Aku juga melihat London Bridge, yang sangat mengingatkanku akan dirimu. Aku ingat kau mengajarkan lagu itu kepada saudara – saudara sepupumu yang masih kecil, London Bridge is Falling Down. Aku rindu suara merdumu kasihku! Untunglah keindahan Thames dan sekitarnya, membuatku dapat mengobati rinduku yang sejenak padamu. Tapi tak kupertanyakan, kalau Beetles mampu membuat lagu yang indah – indah itu semuanya. London yang indah ini, pasti menginspirasi diri mereka banyak sekali. Oh ya, setelah ini adalah Jerman, negeri industri itu. Aku ingin kau melihatnya juga sayangku! Keindahan hasil karya manusia ini, memang berkah dari yang Kuasa! Dengan penuh syukur dan doa untukmu, Jose.

Pesan : Tak sempat kukunjungi Westminster Abbey, aku sudah terlanjur membeli tiket perjalanan ke Jerman, dan waktunya terlalu sempit. Lain kali, pasti kita akan berhasil ke sana. Untukmu seorang yang mencintai London, kubelikan postcard ini dengan gambar London. Salam rindu untukmu, Jose.”

Epphine pun menunggu dengan sabar, kabar selanjutnya dari Jose. Ia kembali menyibukkan diri dalam pekerjaannya, hanya untuk menutupi kerinduannya pada Jose. Hingga beberapa hari selanjutnya, datanglah surat untuknya, lagi – lagi dari Jose.

“ Hai kasihku. Di sini aku tak sendiri. Bersama – sama dengan pengagum sepak bola yang lain, aku sempat menonton Bundesliga di stadion. Wah, memang tak salah dari dulu kukagumi sepak bola Jerman , sungguh sangat memukau. Ah ya, ini mungkin bukan topik yang baik, tapi aku terlalu rindu padamu, hingga aku harus melakukan hal – hal seperti ini untuk menutupi kerinduanku. Di Jerman, tak banyak yang dapat kukunjungi. Hanya kukunjungi situs – situs bekas Perang Dunia II. Aku menyadari begitu banyak hal dengan mengunjungi situs – situs tersebut. Kurasa, diriku semakin humanis dengan mengunjungi tempat – tempat ini. Aku juga terheran – heran, mengapa dulu umat manusia bisa membuat perang sebesar itu. Semakin kupikirkan, maka semakin melankolislah perasaanku. Ah ya, besok aku akan ke Rusia. Tak sabar lagi! Kekasihmu yang semakin humanis, Jose.”

Pada hari ulangtahunnya, akhirnya Epphine menerima surat terakhir. Tanpa melihat lagi pada sang kurir pos, segera ia ke kamarnya dan membaca surat tersebut, surat terakhir dari sang kekasih.

“ Hai kasih, ketika surat ini sampai di tanganmu, pastilah umurmu telah bertambah satu tahun. Aku mengucapkan selamat ulang tahun dan aku pun meminta maaf padamu, karena diriku tak bisa pulang pada hari ulang tahunmu. Aku meminta maaf karena tak dapat memegang janjiku...”

Epphine pun sedih akan berita yang baru saja diterimanya tersebut. Namun dia kuatkan diri untuk terus membaca.

“...Ah ya, hadiahmu akan kuberikan ketika aku sudah sampai di Jakarta. Kau tentu akan menjemputku di bandara, bukan? Dan inilah kisahku di Rusia. Rusia ternyata juga memiliki White House, sama dengan Amerika Serikat. Mungkin ini hasil dari persaingan mereka selama bertahun – tahun. Ah, Rusia memberikanku banyak sekali pengalaman. Ketika ku berjalan di tempat yang sedikit remang – remang, banyak sekali wanita – wanita pelacur di pinggir jalannya. Bahkan tak jarang mereka berasal dari Indonesia, dan negara – negara dengan kemampuan ekonomi yang lemah. Ini semakin menyadarkanku, kalau di dunia ini, begitu banyak hal – hal yang tertutup dari mata kita. Mereka yang bekerja di sana, mereka yang mencari uang di sana, hidup yang susah, dan sungguh berbeda dengan nasib kita, kasih. Mungkin dengan selekasnya aku pulang, akan banyak hal yang akan kulakukan, aku mulai berpikir untuk menyumbangkan sebagian milikku pada anak – anak kecil di panti asuhan yang dulu ingin sekali kau kunjungi. Mataku terbuka, kalau nasib kita ini sungguh sangat beruntung. Jika aku mampu pergi ke Eropa dengan biaya yang minim seperti ini pun, itu adalah suatu keajaiban. Dan dari yang sebelumnya aku banggakan diriku sendiri, kusadari bahwa ini semua mungkin kehendak dari yang Kuasa, untuk membukakan mataku, untuk menyadarkan diriku. Aku ingin berubah, kasihku, memiliki hidup yang lebih baik, lebih humanis lagi, dan lain – lain. Aku pun percaya bahwa dirimu, juga karunia terbesar dalam hidupku. Dan terlebih, aku hanya ingin katakan, dalam perjalananku di Eropa ini, aku percaya kalau aku sungguh cinta padamu. Bukan hanya di mulutku saja, tapi tulus dari dalam hatiku.
Dari kekasihmu, Jose.

Pesan tambahan : Aku berbohong padamu bahwa aku tak sempat pulang tepat waktu. Bukalah pintumu, aku ada di depan pintumu, mengantarkan surat ini padamu. Dan tentang idemu merayakan ulang tahun di panti asuhan itu, aku setuju dengan idemu. Lekaslah ganti baju lalu kita berangkat.”

Epphine pun segera berlari menyambut kekasihnya itu, seraya menangis, dia berkata, “ Kau memang pintar menipu, kasihku, kita harus rayakan ulang tahunku!”
Epphine pun mengikuti Jose, menaiki mobilnya yang sederhana, dan meluncur ke panti asuhan di pinggiran kota itu, seraya bersyukur atas kekasihnya, hidupnya dan segala – galanya. Dan dalam isak tangis kebahagiaannya itu, ia pun tertidur dengan senyum mengembang di bibirnya.


*sampai tengah malem nih ngerjain ginian! LOL.

0 comments:

Post a Comment

 

Meet The Author

Michelle Josephine Sulaiman
19, almost 20.
Stranded in Abilene, TX after a long flight from Jakarta, ID.
9723.78 miles.
Ad veritatem per caritatem '11.